Disabilitas dan Pandangan Masyarakat
"Perhentian berikutnya, halte Juanda, periksa kembali barang bawaan anda dan hati-hati melangkah, terima kasih", berikutnya adalah pemberitahuan dalam bahasa inggris. Yup, setelah mendengar informasi tersebut, saya sudah bersiap berjalan ke arah pintu bis trans Jakarta, dan berbicara kepada petugas dalam bis, bahwa saya akan turun di halte bis Juanda. Setelah bis terhenti dan pintu terbuka, petugas tidak terus mengandeng tangan saya, yang dipegangnya justru tongkat saya, diangkat dan saya disuruh langsung melompat ke halte, tanpa saya tahu jarak lompat antara bis dan halte. biasanya saya gunakan tongkat putih saya untuk mengetahui jarak lompat antara bis dan halte. kontan saja saya panik dan menarik tongkat saya sambil menerangkan kepada petugas kebiasaan yang harus saya lakukan. petugas dalam bis mengerti penjelasan singkat saya, dan membantu saya melompat dari bis ke halte dengan memegangi lengan saya. "Terima kasih", ucap saya kepada petugas itu sambil terus berjalan mencari jalan keluar halte.
Tak lama kemudian, petugas dalam halte menghampiri saya dan menanyakan arah tujuan saya. Karena kondisi halte penuh, petugas dalam halte meminta saya menunggu sebentar karena ia masih sibuk mengurusi penumpang lain, dengan maksud bahwa nanti dia akan mengantrar saya menyeberang jalan. Saat berlalu dari pintu keluar, di posisi belakang saya ada seorang ibu muda yang segera mendorong saya ke arah depan sambil berkata kepada petugas, "maaf mas, saya mau ke arah lain, nanti mas ini (mungkin maksudnya saya), bersama mas saja". karena saya tidak tahu persis yang terjadi, saya berjalan ke arah tepi saja sambil menunggu petugas yang akan mengantar saya. setelah selesai mengurusi beberapa penumpang, petugas dalam halte menghampiri saya, kemudian mengandeng tangan saya dan menuntun saya keluar dari halte, menyeberang jalan untuk berganti kendaraan umum lain. sambil menuntun saya, petugas itu berkata kepada saya mengenai ibu muda yang tadi mendorong saya,
"ibu itu tadi mendorong mas ya?",
jawab saya, "ya, memang kenapa mas?"
Jawab petugas, "Ibu tadi itu ngomongnya sambil melotot, sepertinya sih nggak mau kalau diminta tolong nuntun mas, padahal saya juga tidak minta tolong dia, nanti saya yang akan tuntun mas, karena itu sudah menjadi tugas saya".
jawab saya sambil tertawa, "he.. tidak apa mas, saya ngerti kok, saya yang terima kasih sama mas mau nuntun saya".
Petugas yang menuntun saya menunggui saya sampai saya mendapat kendaraan umum berikutnya. setelah saya naik, saya mengucapkan terima kasih.
Dari peristiwa yang saya alami diatas, ada beberapa pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas Tunanetra, mulai dari petugas dalam bis, petugas dalam halte dan ibu muda yang mendorong saya, tidak ketinggalan juga, saya seorang Tunanetra sebagai pemeran utama, he he he...
Pertama kita cermati cara petugas dalam bis yang mencoba membantu saya, Mmenurut saya petugas itu mau membantu saya sebagai salah seorang penumpang bis yang berkubutuhan khusus, karena memang sudah menjadi tugasnya. diperhatikan dari caranya membantu saya, yang dipegang bukan lengan saya, tapi tongkat saya. ia mau membantu tapi belum tahu cara yang benar, sehingga kalau diteruskan dan tidak ada penjelasan dari saya, keadaan itu akan berbahaya bagi saya. Kemudian sikap saya sebagai penyandang Tunanetra yang butuh bantuan adalah memberi penjelasan singkat tanpa emosi, cara dan kebiasaan yang harus saya lakukan, yaitu mengukur jarak bis dengan halte menggunakan tongkat putih saya, agar saya bisa mengira jarak langkah yang harus saya ambil. kesimpulannya adalah, niat baik untuk membantu yang tidak disertai pengetahuan yang benar mengenai cara membantu penyandang disabilitas, mungkin justru dapat menimbulkan keadaan yang berbahaya bagi si penyandang disabilitas. tetapi ketidaktahuan itu dapat diatasi dengan pemberian informasi yang singkat, jelas dan disampaikan tanpa emosi oleh si penyandang disabilitas, agar mendapat bantuan yang sesuai dengan kebutuhannya. bagaimana menurut anda?
berikutnya, kita cermati petugas dalam halte, begitu melihat saya, ia sudah memiliki niat baik untuk membantu saya disamping itu juga memang sudah menjadi tugas dan kewajibannya. segera ia menghampiri saya, dan menawarkan bantuan untuk menuntun saya keluar dari halte setelah terlebih dahulu ia membantu penumpang-penumpang yang akan naik bis. Setelah selesai membantu beberapa penumpang, ia segera menghapiri saya dan menuntun saya keluar dari halte, dengan tehnik menuntun yang benar. sempat ada obrolan singkat ia telah membantu beberapa teman-teman Tunanetra sebelum saya yang juga turun dari bis Trans Jakarta di halte Juanda. kesimpulannya, petugas itu telah terbiasa bertemu dan berinteraksi dengan Tunanetra, sehingga tidak ada kecanggungan saat membantu saya. dengan tehnik yang benar, saya pun merasa nyaman dan merasa sangat tertolong untuk melanjutkan perjalanan saya berikutnya. Bagaimana menurut anda?
Berikutnya lagi adalah ibu muda yang mendorong saya dan menolak menuntun saya. sebenarnya saya tidak mau mengomentari, karena niat baik membantu atau tidak itu menjadi hak setiap orang. tetapi untuk kebutuhan kelengkapan cerita ini, bolehlah saya komentari sedikit, maaf ya bu, he he. Secara umum ada sebagian masyarakat, ingat ya yang saya katakan hanya sebagian masyarakat, berarti bukan keseluruhan, menganggap penyandang disabilitas masih menjadi warga "kelas dua", memiliki wabah yang harus dihindari, atau dengan kata lain ter-"marginalkan". kenapa bisa begitu? mungkin karena budaya dari nenek moyang yang menganggap kekurangan dari seseorang seperti Tunanetra, Tunarungu/Wicara, Tunagrahita serta Tunadaksa adalah aib. padahal itu berbanding terbalik dengan ajaran semua agama, bahwa manusia itu diciptakan sempurna. kalau andai saja saat mau dilahirkan didunia ada sebuah formulir yang harus diisi mengenai apa, bagaimana dan mau menjadi apa kita ketika lahir ke dunia, mungkin tidak ada orang yang ingin dilahirkan dengan kedisabilitasan, atau ketika dewasa tidak ingin menjadi penyandang disabilitas. kesimpulannya adalah, sarana informasi mengenai dunia disabilitas melalui berbagai media harus diberikan secara terus-menerus, sampai semua pihak, baik masyarakat maupun penentu kebijakan memiliki pemahaman yang baik dan benar mengenai dunia disabilitas. tidak sulit, hanya butuh memahami.. bagaimana menurut anda?
Akhirnya saya, sebagai penyandang disabilitas Tunanetra, ketika turun dari bis, petugas menggunakan cara yang salah. sikap saya adalah tenang, memberi informasi yang benar secara singkat dan tidak berbelit sampai petugas itu paham, dan memberi bantuan sesuai dengan kebutuhan saya. saat di halte, ada petugas yang mau membantu saya, tetapi pilihannya adalah saya harus menunggu sebentar. sikap saya adalah percaya dan menunggu sampai petugas itu datang dan menuntun saya keluar dari halte. berikutnya, ketika mendapat penolakan dari orang lain, sikap saya adalah tetap tenang dan berusaha menghibur diri sendiri, karena sebagai manusia, baik "normal" maupun memiliki kedisabilitasan, pasti akan mengalami penolakan-penolakan, terlebih dengan stereo tape mengenai penyandang disabilitas di Indonesia. Bagaimana menurut anda?
Semua kejadian dapat kita jadikan sebagai pelajaran hidup, karena sebagai manusia, kehidupan adalah tempat kita untuk belajar dan terus belajar, untuk mencapai kesempurnaan. Bagaimana menurut anda?
Cheers, :)